Genzi.web.id - Generasi Z di Jepang, yang tumbuh di tengah-tengah kemajuan teknologi dan modernisasi yang pesat, menghadapi tantangan yang tidak pernah dialami oleh generasi sebelumnya. Di tengah tekanan sosial dan ekonomi, semakin banyak anak muda dari generasi ini memilih untuk menarik diri dari masyarakat dan menjalani kehidupan sebagai hikikomori—suatu fenomena yang telah lama menjadi perhatian di Jepang.
Fenomena Hikikomori di Kalangan Gen Z Jepang
Hikikomori adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang mengasingkan diri secara ekstrem dari masyarakat dan menghabiskan sebagian besar waktu mereka di dalam rumah. Fenomena ini bukan hal baru di Jepang, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, jumlah Gen Z yang memilih hidup sebagai hikikomori telah meningkat drastis.
Menurut survei terbaru dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, jumlah orang muda di bawah usia 30 tahun yang memilih untuk menjadi hikikomori telah meningkat sebesar 15% dalam lima tahun terakhir. Laporan tersebut mencatat bahwa sekitar 1,15 juta orang di Jepang diperkirakan hidup sebagai hikikomori, dan sebagian besar dari mereka adalah anggota Gen Z Jepang.
Melihat lebih dalam, fenomena ini menunjukkan adanya krisis sosial yang mendalam di kalangan generasi muda Jepang. Banyak dari mereka merasa tertekan oleh harapan masyarakat yang tinggi, serta ketidakpastian ekonomi yang membuat mereka kesulitan untuk menemukan stabilitas dalam karier dan kehidupan pribadi.
Dampak Sosial dan Ekonomi Terhadap Gen Z Jepang
Fenomena hikikomori bukan hanya mencerminkan masalah individu, tetapi juga menggambarkan tantangan yang lebih luas di masyarakat Jepang. Generasi Z tumbuh dalam iklim sosial yang sangat kompetitif, di mana keberhasilan akademis dan profesional dihargai di atas segalanya. Banyak dari mereka merasa terjebak dalam lingkaran yang penuh dengan tuntutan sosial yang tidak realistis.
Di samping itu, perubahan dalam struktur ekonomi Jepang juga berkontribusi pada meningkatnya ketidakstabilan karir di kalangan Gen Z. Sebagai contoh, banyak dari mereka yang bekerja dalam pekerjaan kontrak jangka pendek atau freelance, yang menawarkan sedikit stabilitas atau kesempatan untuk membangun karier jangka panjang. Hal ini semakin diperparah oleh lambatnya pertumbuhan ekonomi Jepang, yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Sebagai respons terhadap kondisi ini, banyak Gen Z Jepang memilih untuk menarik diri dari masyarakat. Mereka merasa sulit untuk memenuhi harapan yang dibebankan oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat, dan sebagai gantinya, memilih untuk mencari perlindungan di dalam rumah mereka sendiri, menghindari kontak sosial yang dianggap sebagai sumber tekanan.
Gen Z Jepang yang mengalami hikikomori tidak hanya menghadapi dampak psikologis seperti kecemasan sosial dan depresi, tetapi juga dampak ekonomi. Kehilangan produktivitas di kalangan generasi ini bisa menimbulkan tantangan besar bagi Jepang di masa depan, mengingat populasi negara ini yang semakin menua dan berkurang. Dengan semakin banyak anak muda yang menarik diri dari kehidupan sosial dan profesional, beban ekonomi pada populasi pekerja yang lebih kecil akan meningkat.
Pandangan Para Ahli Tentang Gen Z Jepang dan Hikikomori
Banyak ahli di Jepang telah meneliti fenomena hikikomori dan mencoba untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkannya. Dr. Kenji Miyamoto, seorang psikolog klinis dari Universitas Kyoto yang telah lama mempelajari perilaku sosial di kalangan generasi muda Jepang, berpendapat bahwa fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di negara tersebut.
Dalam wawancaranya dengan NHK World Japan, Dr. Miyamoto menjelaskan bahwa lonjakan jumlah Gen Z Jepang yang memilih untuk menjadi hikikomori kemungkinan besar disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor. Di satu sisi, ada tekanan ekonomi yang membuat generasi muda kesulitan menemukan pekerjaan tetap, sementara di sisi lain, ada perubahan dalam struktur sosial yang mengubah cara mereka berinteraksi satu sama lain.
"Generasi muda saat ini tumbuh dengan teknologi yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi secara virtual, tetapi sayangnya, hal ini juga membuat mereka lebih rentan untuk menarik diri dari interaksi sosial langsung," ujar Dr. Miyamoto. "Banyak dari mereka yang merasa bahwa dunia nyata terlalu menekan, sehingga mereka lebih memilih untuk hidup di dalam dunia virtual atau menarik diri sepenuhnya."
Pendapat ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan Jepang, yang menemukan bahwa semakin banyak siswa yang mengalami gangguan kecemasan sosial akibat tekanan akademis. Sebagian dari mereka memilih untuk drop out dari sekolah dan menjadi hikikomori sebagai cara untuk menghindari rasa malu atau kegagalan.
Tantangan Masa Depan: Apa yang Bisa Dilakukan?
Mengatasi fenomena hikikomori di kalangan Gen Z Jepang adalah tugas yang sulit, tetapi para ahli sepakat bahwa intervensi dini dan dukungan dari masyarakat sangat penting. Banyak organisasi nirlaba di Jepang telah mulai menawarkan layanan dukungan bagi anak muda yang mengalami hikikomori, termasuk terapi kelompok dan konseling individual.
Namun, tantangan ini tidak hanya membutuhkan solusi pada tingkat individu. Pemerintah Jepang juga perlu mengambil langkah-langkah untuk menciptakan kebijakan yang mendukung generasi muda dalam hal ketenagakerjaan dan pendidikan. Salah satu upaya yang sedang dilakukan adalah program pelatihan kerja bagi hikikomori, yang bertujuan untuk membantu mereka kembali ke masyarakat dan memulai karir yang lebih stabil.
Selain itu, perubahan dalam budaya kerja Jepang juga diperlukan. Banyak ahli berpendapat bahwa sistem kerja di Jepang, yang dikenal dengan jam kerja yang panjang dan tuntutan tinggi, perlu diubah agar lebih ramah terhadap generasi muda yang membutuhkan fleksibilitas lebih besar. Ini akan memungkinkan Gen Z Jepang untuk menemukan keseimbangan antara kehidupan profesional dan pribadi mereka, serta mengurangi tekanan yang membuat mereka memilih untuk menjadi hikikomori.
Meskipun tantangan yang dihadapi oleh Gen Z Jepang sangat besar, ada harapan bahwa dengan dukungan yang tepat, mereka dapat keluar dari lingkaran hikikomori dan menjadi anggota masyarakat yang produktif. Fenomena ini tidak hanya mempengaruhi mereka secara individu, tetapi juga mencerminkan masalah sosial yang lebih luas yang harus dihadapi oleh seluruh masyarakat Jepang.